Telaah
Sastra
Feminisme dalam Novel Perempuan di Titik Nol
Novel
Perempuan di Titik Nol (Imra'ah Inda Nuqtati Sifr)
ini tidak jauh berbeda dengan
karya-karya Nawal el Sadawi lainnya. Novel ini juga sarat akan kritik-kritik
sosial yang keras dan pedas. Novel
Perempuan di Titik Nol adalah salah satu karya Nawal el Sadawi yang ia
tulis berdasarkan kisah nyata seorang perempuan Mesir bernama Firdaus yang
dijumpainya di penjara Qanatir pada tahun 1974 ketika Nawal sedang melakukan
penelitian terhadap gejala-gejala neurosis di kalangan narapidana wanita Mesir.
Latar
di novel Perempuan di Titik Nol ini adalah sebuah desa kecil di pinggiran kota
Mesir dengan budaya patriarki yang begitu kental. Cerita bermula dari kisah
masa kecil Firdaus yang suram. Ayah Firdaus adalah seorang petani miskin yang
mudah tersulut emosi. Ketika ia pulang dari ladang dan tidak menemukan makanan,
maka ia akan memukuli ibu Firdaus dan memarahi anak-anaknya seharian.
Kemiskinan
menyebabkan Firdaus dan keluarganya hidup serba kekurangan. Gubuk mereka kecil,
tidak ada kamar tidur yang nyaman, kecuali lantai beralaskan jerami atau dekat
tungku ruangan ketika musim dingin. Namun kenyamanan ayahnya adalah yang paling
utama. Jika pada musim dingin Firdaus dan saudara-saudaranya telah terlelap
terlebih dahulu sebelum ayahnya, maka ayahnya akan menarik tikar jerami itu
beserta bantalnya, lalu mencari kehangatan di sudut ruangan tungku. Sementara
Firdaus dan saudara-saudaranya dibiarkan menggigil kedinginan atau menderita
mencret di musim panas. Mereka dibiarkan merana hingga mati satu persatu
seperti anak ayam. Ayahnya juga tidak pernah memberinya uang sepeser pun. Jika
Firdaus memintanya, maka ayahnya akan marah dan memukul tangan serta pundaknya
seraya menghardiknya untuk membersihkan kotoran ternak.
Firdaus
kecil lebih suka bekerja di ladang. Karena disana ia dapat bertemu dan bermain
bersama seorang teman laki-lakinya yang bernama Muhammadain. Suatu ketika
Muhammadain pernah mengajak Firdaus untuk tiduran di atas jerami dan ia
menyingkap galabeya (jubah) yang dikenakan Firdaus. Mereka bermain-main
menjadi pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Itulah awal dari pelecehan
seksual yang diterima oleh Firdaus.
Pelecehan
yang dialami Firdaus kecil tidak hanya ia terima dari temannya, Muhammadain.
Akan tetapi juga dari pamannya yang saat itu sudah menjadi seorang mahasiswa
Al-Azhar. Walaupun menerima pelecehan dari pamannya tapi Firdaus tetap
menyukainya dan lebih memilih tinggal bersamanya saat kedua orang tuanya
meninggal. Ketika hidup bersama pamannya Firdaus mulai memperoleh pendidikan
yang layak hingga jenjang SMA.
Setelah
lulus SMA Firdaus dipaksa menikah dengan seorang duda oleh istri pamannya.
Bukannya berakhir bahagia, pernikahan tersebut justru menorehkan lembar
penderitaan baru. Duda yang menikahi Firdaus adalah seorang duda tua yang
memiliki luka di wajahnya, setiap hari luka tersebut mengeluarkan nanah dan
darah yang berbau busuk. Laki-laki tersebut juga merupakan seseorang yang
terlampau pelit. Bahkan ketika Firdaus menjatuhkan bubuk-bubuk deterjen untuk
mencuci piring maka ia akan mulai berteriak dan memukuli Firdaus.
Karena
sudah tidak tahan terhadap perlakuan suaminya, Firdaus pun pergi meninggalkan
rumah dan mulai hidup di jalanan. Suatu ketika Firdaus bertemu dengan seorang
polisi, bukannya membantu polisi tersebut justru melakukan pelecehan terhadap
Firdaus. Akhirnya Firdaus bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Bayoumi.
Ia bersedia memberikan tumpangan kamar untuk Firdaus. Akan tetapi pada akhirnya
Bayoumi justru menyiksa dan melakukan pelecehan terhadap Firdaus.
Begitulah
hidup Firdaus yang malang, setelah lepas dari mulut harimau justru masuk ke
kandang buaya. Setelah kabur dari rumah Bayoumi, Firdaus bertemu dengan seorang
wanita bernama Syarifa. Ia mengajarkan Firdaus bahwa wanita adalah makhluk yang
bernilai tinggi dan tidak bisa diperlakukan semena-mena. Sejak saat itu Firdaus
hidup dan bekerja untuk Syarifa. Ia bekerja sebagai seorang pelacur dengan
bayaran yang cukup mahal.
Setelah
bosan menjadi pelacur, Firdaus bermaksud untuk hidup menjadi wanita baik-baik
dengan bekerja di sebuah perusahaan kecil berbekal ijazah SMA nya. Walaupun
mendapat gaji yang begitu sedikit, Firdaus sangat senang bekerja di perusahaan
tersebut. Karena ia telah menemukan seorang lelaki yang benar-benar dicintainya
di perusahaan tersebut. Bahkan Firdaus rela memberikan jiwa dan raganya bagi
lelaki tersebut. Akan tetapi lelaki tersebut justru bertunangan dengan anak bos
perusahaan tersebut. Firdaus pun patah hati dan kembali ke pekerjaan lamanya
sebagai pelacur.
Kali
ini Firdaus telah benar-benar menutup hatinya untuk seluruh lelaki. Ia
memperbolehkan tiap lelaki untuk menikmati tubuhnya, tapi tidak untuk
memilikinya. Firdaus berada pada puncak kesuksesannya ketika dating seorang
lelaki yang bermaksud menjadi mucikari baginya. Karena tidak bisa menolak,
akhirnya Firdaus pun menerimanya. Akan tetapi suatu hari lelaki tersebut
melakukan pelecehan terhadap Firdaus, hingga Firdaus pun menikamnya dengan sebilah
pisau. Itulah yang menyebabkan Firdaus harus masuk bui dan berakhir di tiang
gantung.
Novel
sebagai hasil dari kebudayaan tidak bisa lepas dari latar sosial penulis.
Sebagai penganut feminisme, Nawal el Sadawi seolah ingin menyampaikan
keinginannya untuk membangkitkan kaum perempuan dari keterpurukan lewat
tokoh-tokoh yang ia ciptakan dalam novel ini. Pemikiran-pemikiran Nawal el
Sadawi yang ia sampaikan tersebut tak lain karena pengaruh jiwanya yang merasa
teraniaya dengan kondisi masyarakat dimana ia hidup.
Nawal
el Sadawi dengan mahir menuliskan bagaimana budaya patriarki begitu mengakar
kuat di Mesir. Sebagai sebuah karya sastra yang beraliran feminisme, Nawal
dengan gamblang mengemukakan topik-topik mengenai masalah kehidupan yang cukup
kompleks yang dialami oleh seorang perempuan bernama "Firdaus".
Sebenarnya, masalah-masalah yang dialami oleh Firdaus itu berakar pada satu
hal, yang menjadi topik utama dalam novel ini, yaitu sistem budaya patriarki
yang telah menjadikan perempuan mengalami ketertindasan dalam berbagai aspek.
Ketertindasan yang dialami oleh Firdaus sebagai akibat dari ketidakadilan
jender ini berawal sejak ia masih kecil sehingga dewasa. [Baca juga: SINOPSIS
NOVEL LORONG MIDAQ]
Terdapat
lima topik ketidakadilan jender dalam novel ini, kelima topik tersebut ialah: 1)
kekerasan terhadap anak, 2) kekerasan dalam rumah tangga, 3) perdagangan
perempuan (trafficking), 4) pelecehan seksual, dan 5) emansipasi
perempuan. Topik kekerasan terhadap anak dapat kita temukan dalam penuturan
firdaus ketika ia menggambarkan ayahnya.
Kemiskinan
menyebabkan Firdaus dan keluarganya hidup serba kekurangan. Gubuk mereka kecil,
tidak ada kamar tidur yang nyaman, kecuali lantai beralaskan jerami atau dekat
tungku ruangan ketika musim dingin. Namun kenyamanan ayahnya adalah yang paling
utama. Jika pada musim dingin Firdaus dan saudara-saudaranya telah terlelap
terlebih dahulu sebelum ayahnya, maka ayahnya akan menarik tikar jerami itu
beserta bantalnya, lalu mencari kehangatan di sudut ruangan tungku. Sementara
Firdaus dan saudara-saudaranya dibiarkan menggigil kedinginan atau menderita
mencret di musim panas. Mereka dibiarkan merana hingga mati satu persatu
seperti anak ayam. (hal 22-23)
Kondisi
ekonomi yang tidak berkecukupan membuat firdaus dan keluarganya sering menahan
rasa lapar dan dahaga. Tidak demikian dengan ayahnya. Ayahnya tidak akan pernah
tidur tanpa makan malam terlebih dahulu, sementara anggota keluarganya harus
tidur dengan perut kosong atau menunggunya selesai makan dan memakan sisa-sisa
makanannya bersama-sama. Sang ayah tidak pernah peduli apakah anak-anaknya
kenyang atau tidak, yang ada dalam pikirannya adalah isi perutnya. Hal ini
digambarkan dengan bagaimana ketika firdaus memberanikan diri mengulurkan
tangannya di saat ayahnya makan, namun yang ada adalah pukulan keras dari
ayahnya. (hal 23)
Ayahnya
juga tidak pernah memberinya uang sepeser pun. Jika Firdaus memintanya, maka
ayahnya akan marah dan memukul tangan serta pundaknya seraya menghardiknya
untuk membersihkan kotoran ternak dan menggiring keledai ke kandang terlebih
dahulu. (hal 25)
Topik
kedua adalah kekerasan dalam berumah tangga. Masalah kekerasan dalam rumah
tangga yang diangkat dalam novel ini adalah kekerasan yang terjadi pada ibu
Firdaus dan diri Firdaus pribadi. Ibu firdaus digambarkan sebagai seorang istri
yang taat pada suami. Apapun akan dilakukannya demi kesenangan suaminya,
meskipun hal tersebut menyengsarakannya dan anak-anaknya. Ayah Firdaus
seringkali memukuli ibu Firdaus. Hal tersebut kemudian menumbuhkan suatu doktrin
dalam pikiran Firdaus kecil, bahwa seorang suami pasti akan melakukan tindakan
kekerasan terhadap istrinya. Contohnya, ketika saudara-saudaranya meninggal
satu persatu, sang ayah akan memukuli ibunya jika yang meninggal adalah anak
laki-laki. (hal 23)
Kekerasan
yang terjadi dalam rumah tangga Firdaus jauh lebih kompleks. Firdaus dipaksa
menikah oleh bibinya ketika ia masih berusia 19 tahun dengan Syekh Mahmoud yang
telah berusia 61 tahun. Pada awalnya Syekh Mahmoud tidak pernah melakukan
kekerasan terhadap Firdaus, kecuali hanya membatasi kebebasan Firdaus dalam
menggunakan fasilitas rumah tangga. Firdaus menggambarkan sifat
"pelit" suaminya ini dengan kebiasaannya melarang Firdaus menyisakan
makanan di piring, menumpahkan beberapa butir bubuk sabun di lantai,
menggunakan bahan masakan secara berlebihan dan bahkan memeriksa tempat sampah
sebelum diangkut oleh tukang sampah. Suatu ketika ia menemukan sisa makanan, ia
pun lalu berteriak-teriak dengan begitu kerasnya sehingga para tetangga dapat
mendengar. Sejak saat itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukuli Firdaus, baik
secara beralasan ataupun tidak. (hal 51)
Kebiasaan
Syekh Mahmoud memukuli Firdaus semakin menjadi-jadi. Suatu ketika, ia memukuli
seluruh badan Firdaus dengan sepatu, hingga muka dan badannya menjadi bengkak
dan memar. Kejadian itu membuat Firdaus melarikan diri ke rumah pamannya. (hal
51)
Akhir
dari kisah pernikahan Firdaus dengan Syekh Mahmoud adalah ketika Firdaus
melarikan diri dari rumah suaminya setelah ia dipukul dengan tongkat dan mengakibatkan
darah keluar dari hidung dan telinganya. (hal 53)
Topik
ketiga adalah perdagangan perempuan (trafficking). Dalam novel ini hal
tersebut dapat kita jumpai pada cerita mengenai pernikahan paksa yang dialami
oleh Firdaus, pernikahan tersebut tidak ada bedanya dengan perdagangan
perempuan (trafficking). Karena motif dari pernikahan tersebut
semata-mata agar paman dan bibinya memperoleh keuntungan.
Sebut
saja bahwa pernikahan ini tiada lain adalah untuk menukar diri Firdaus yang
masih sangat belia dengan uang 100 pound dari seorang kaya yang telah tua
renta. (hal 44)
Topik
keempat adalah pelecehan seksual. Masalah ini merupakan masalah yang paling
menonjol dalam novel Perempuan di Titik Nol. Dalam novel ini digambarkan bahwa
hampir dalam setiap fase kehidupannya Firdaus mengalami pelecehan seksual. Dan
hal inilah yang menyebabkan ia kemudian berprofesi sebagai seorang pelacur
ketika telah dewasa.
Firdaus
telah mengalami pelecehan sejak masih kecil, bahkan awal pelecehan tersebut
dilakukan oleh teman sepermainannya, Muhammadain. Dalam novel ini diceritakan
bahwa Firdaus kecil mengalami kenikmatan yang tidak pernah ia rasakan
sebelumnya saat Muhammadain mengajaknya ke sebuah teratak kecil. Kemudian
Muhammadain mengangkat galabeya yang dipakai Firdaus, mereka sedang
bermain-main menjadi "pengantin perempuan dan pengantin laki-laki".
(hal 50)
Orang
kedua yang melakukan pelecehan terhadap Firdaus adalah pamannya. Ketika membuat
adonan roti Firdaus harus mengerjakannya dengan berjongkok di lantai, dan tanpa
ia sadari galabeya yang dipakainya acap kali menggelosor hingga pahanya
terbuka. Saat ia tersadar, tangan pamannya tengah meraba kakinya sampai ke atas
paha. Satu hal yang Firdaus rasakan ketika itu bahwa pamannya sedang melakukan
sesuatu seperti yang dilakukan Muhammadain, bahkan lebih dari itu. (hal 18)
Ketika
ia kabur dari rumah suaminya, ia berjumpa dengan seorang laki-laki bernama
Bayoumi yang menjanjikan pekerjaan yang layak baginya. Awalnya Bayoumi
memperlakukan Firdaus dengan sangat baik, bahkan ia lebih memilih tidur di
lantai daripada harus tidur berdua dengan Firdaus di atas tempat tidurnya yang
kecil. Firdaus menolak tidur di tempat tidur Bayoumi, ia mengusulkan agar ia
saja yang tidur di lantai. Bayoumi tidak membiarkan itu terjadi, ia langsung menyentuh
tangan Firdaus dan menggiringnya ke tempat tidur, namun kemudian ia pun
menidurinya. (hal 56)
Ketika
Firdaus memutuskan untuk kembali ke dunia pelacuran, ia tidak ingin
menjalaninya setengah-setengah. Tetapi secara total, sehingga ia bisa memperoleh
kekayaan yang melimpah dan dipandang orang sebagai wanita terhormat. Seorang
germo bernama Marzouk yang mencium kesuksesan Firdaus pergi mendatanginya dan
mengajaknya untuk bergabung. Awalnya Firdaus menolak, tetapi kekuatan yang
dimiliki oleh germo itu telah mengalahkannya. Tetapi lagi-lagi germo itu pun
melakukan pelecehan terhadapnya, hingga berujung pada kematiannya, saat Firdaus
sudah kehilangan kendali dan berani membunuhnya. (hal 106) [Baca juga:
Aliran-aliran dalam Sastra Arab Modern]
Topik
terakhir adalah emansipasi perempuan. Sebagai sebuah novel feminis, masalah
emansipasi perempuan jelas dimunculkan di dalamnya. Hal tersebut dapat kita
temukan dalam kutipan-kutipan berikut:
Kadang-kadang
saya bayangkan, bahwa saya akan menjadi seorang dokter atau insinyur, seorang
ahli hukum atau hakim. Saya tahu bahwa perempuan tidak bisa menjadi kepala
negara, tetapi saya merasa bahwa saya tidak seperti perempuan lainnya, juga
anak-anak perempuan lain di sekitar saya yang tetap saja bicara tentang cinta,
atau tentang laki-laki. Karena itu adalah soal yang tidak pernah saya sebutkan.
(hal:36)
Apa pun yang terjadi saya harus
menjadi seorang wanita yang terhormat, walaupun harus dibayar dengan nyawa
saya. Saya tetap masih punya ijazah sekolah menengah saya, surat penghargaan
saya dan otak yang tajam dan bertekad untuk mencari pekerjaan yang terhormat.
(hal:105)
Semua perempuan adalah korban
penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan dan kemudian menghukum
mereka karena telah tertipu. Menindas mereka ke tingkat terbawah dan menghukum
mereka karena telah jatuh begitu rendah. Mengikat mereka dalam perkawinan dan
menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam
mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan. (hal: 126)
Karena saya seorang yang cerdas,
saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang
istri yang diperbudak. (hal:133)
Berbagai kekerasan, pelecehan dan
penindasan yang pernah dialami oleh Firdaus menimbulkan suatu semangat
emansipasi dalam jiwanya. Langkah pertama yang ditempuh oleh Firdaus untuk
mewujudkan semangat emansipasinya ini melalui keputusannya untuk menjadi
seorang pelacur yang sukses. Profesi itu ia pilih sebagai alat untuk
membalaskan dendamnya kepada para lelaki yang pernah merendahkan harga
dirinya.menurut Firdaus seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang
istri yang selalu diperbudak oleh suami.
Baca juga:
Belajar Bahasa Arab Pemula
Tidak ada komentar:
Posting Komentar