Selasa, 22 Agustus 2017

Analisis Novel Perempuan di Titik Nol



Telaah Sastra
Analisis Novel Perempuan di Titik Nol
Novel Perempuan di Titik Nol (Imra'ah Inda Nuqtati Sifr)  ini tidak jauh berbeda dengan karya-karya Nawal el Sadawi lainnya. Novel ini juga sarat akan kritik-kritik sosial yang keras dan pedas. Novel  Perempuan di Titik Nol adalah salah satu karya Nawal el Sadawi yang ia tulis berdasarkan kisah nyata seorang perempuan Mesir bernama Firdaus yang dijumpainya di penjara Qanatir pada tahun 1974 ketika Nawal sedang melakukan penelitian terhadap gejala-gejala neurosis di kalangan narapidana wanita Mesir.
Latar di novel Perempuan di Titik Nol ini adalah sebuah desa kecil di pinggiran kota Mesir dengan budaya patriarki yang begitu kental. Cerita bermula dari kisah masa kecil Firdaus yang suram. Ayah Firdaus adalah seorang petani miskin yang mudah tersulut emosi. Ketika ia pulang dari ladang dan tidak menemukan makanan, maka ia akan memukuli ibu Firdaus dan memarahi anak-anaknya seharian.
Kemiskinan menyebabkan Firdaus dan keluarganya hidup serba kekurangan. Gubuk mereka kecil, tidak ada kamar tidur yang nyaman, kecuali lantai beralaskan jerami atau dekat tungku ruangan ketika musim dingin. Namun kenyamanan ayahnya adalah yang paling utama. Jika pada musim dingin Firdaus dan saudara-saudaranya telah terlelap terlebih dahulu sebelum ayahnya, maka ayahnya akan menarik tikar jerami itu beserta bantalnya, lalu mencari kehangatan di sudut ruangan tungku. Sementara Firdaus dan saudara-saudaranya dibiarkan menggigil kedinginan atau menderita mencret di musim panas. Mereka dibiarkan merana hingga mati satu persatu seperti anak ayam. Ayahnya juga tidak pernah memberinya uang sepeser pun. Jika Firdaus memintanya, maka ayahnya akan marah dan memukul tangan serta pundaknya seraya menghardiknya untuk membersihkan kotoran ternak. [Baca juga: Aliran Impresionisme]
Firdaus kecil lebih suka bekerja di ladang. Karena disana ia dapat bertemu dan bermain bersama seorang teman laki-lakinya yang bernama Muhammadain. Suatu ketika Muhammadain pernah mengajak Firdaus untuk tiduran di atas jerami dan ia menyingkap galabeya (jubah) yang dikenakan Firdaus. Mereka bermain-main menjadi pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Itulah awal dari pelecehan seksual yang diterima oleh Firdaus.
Pelecehan yang dialami Firdaus kecil tidak hanya ia terima dari temannya, Muhammadain. Akan tetapi juga dari pamannya yang saat itu sudah menjadi seorang mahasiswa Al-Azhar. Walaupun menerima pelecehan dari pamannya tapi Firdaus tetap menyukainya dan lebih memilih tinggal bersamanya saat kedua orang tuanya meninggal. Ketika hidup bersama pamannya Firdaus mulai memperoleh pendidikan yang layak hingga jenjang SMA.
Setelah lulus SMA Firdaus dipaksa menikah dengan seorang duda oleh istri pamannya. Bukannya berakhir bahagia, pernikahan tersebut justru menorehkan lembar penderitaan baru. Duda yang menikahi Firdaus adalah seorang duda tua yang memiliki luka di wajahnya, setiap hari luka tersebut mengeluarkan nanah dan darah yang berbau busuk. Laki-laki tersebut juga merupakan seseorang yang terlampau pelit. Bahkan ketika Firdaus menjatuhkan bubuk-bubuk deterjen untuk mencuci piring maka ia akan mulai berteriak dan memukuli Firdaus. [Baca juga: Aliran Religiusisme]
Karena sudah tidak tahan terhadap perlakuan suaminya, Firdaus pun pergi meninggalkan rumah dan mulai hidup di jalanan. Suatu ketika Firdaus bertemu dengan seorang polisi, bukannya membantu polisi tersebut justru melakukan pelecehan terhadap Firdaus. Akhirnya Firdaus bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Bayoumi. Ia bersedia memberikan tumpangan kamar untuk Firdaus. Akan tetapi pada akhirnya Bayoumi justru menyiksa dan melakukan pelecehan terhadap Firdaus.
Begitulah hidup Firdaus yang malang, setelah lepas dari mulut harimau justru masuk ke kandang buaya. Setelah kabur dari rumah Bayoumi, Firdaus bertemu dengan seorang wanita bernama Syarifa. Ia mengajarkan Firdaus bahwa wanita adalah makhluk yang bernilai tinggi dan tidak bisa diperlakukan semena-mena. Sejak saat itu Firdaus hidup dan bekerja untuk Syarifa. Ia bekerja sebagai seorang pelacur dengan bayaran yang cukup mahal.
Setelah bosan menjadi pelacur, Firdaus bermaksud untuk hidup menjadi wanita baik-baik dengan bekerja di sebuah perusahaan kecil berbekal ijazah SMA nya. Walaupun mendapat gaji yang begitu sedikit, Firdaus sangat senang bekerja di perusahaan tersebut. Karena ia telah menemukan seorang lelaki yang benar-benar dicintainya di perusahaan tersebut. Bahkan Firdaus rela memberikan jiwa dan raganya bagi lelaki tersebut. Akan tetapi lelaki tersebut justru bertunangan dengan anak bos perusahaan tersebut. Firdaus pun patah hati dan kembali ke pekerjaan lamanya sebagai pelacur.
Kali ini Firdaus telah benar-benar menutup hatinya untuk seluruh lelaki. Ia memperbolehkan tiap lelaki untuk menikmati tubuhnya, tapi tidak untuk memilikinya. Firdaus berada pada puncak kesuksesannya ketika dating seorang lelaki yang bermaksud menjadi mucikari baginya. Karena tidak bisa menolak, akhirnya Firdaus pun menerimanya. Akan tetapi suatu hari lelaki tersebut melakukan pelecehan terhadap Firdaus, hingga Firdaus pun menikamnya dengan sebilah pisau. Itulah yang menyebabkan Firdaus harus masuk bui dan berakhir di tiang gantung.
Novel sebagai hasil dari kebudayaan tidak bisa lepas dari latar sosial penulis. Sebagai penganut feminisme, Nawal el Sadawi seolah ingin menyampaikan keinginannya untuk membangkitkan kaum perempuan dari keterpurukan lewat tokoh-tokoh yang ia ciptakan dalam novel ini. Pemikiran-pemikiran Nawal el Sadawi yang ia sampaikan tersebut tak lain karena pengaruh jiwanya yang merasa teraniaya dengan kondisi masyarakat dimana ia hidup. Nawal el Sadawi dengan mahir menuliskan bagaimana budaya patriarki begitu mengakar kuat di Mesir. Sebagai sebuah karya sastra yang beraliran feminisme, Nawal dengan gamblang mengemukakan topik-topik mengenai masalah kehidupan yang cukup kompleks yang dialami oleh seorang perempuan bernama "Firdaus". Sebenarnya, masalah-masalah yang dialami oleh Firdaus itu berakar pada satu hal, yang menjadi topik utama dalam novel ini, yaitu sistem budaya patriarki yang telah menjadikan perempuan mengalami ketertindasan dalam berbagai aspek. Ketertindasan yang dialami oleh Firdaus sebagai akibat dari ketidakadilan jender ini berawal sejak ia masih kecil sehingga dewasa.
Terdapat lima topik ketidakadilan jender dalam novel ini, kelima topik tersebut ialah: 1) kekerasan terhadap anak, 2) kekerasan dalam rumah tangga, 3) perdagangan perempuan (trafficking), 4) pelecehan seksual, dan 5) emansipasi perempuan. Topic kekerasan terhadap anak dapat kita temukan dalam penuturan firdaus ketika ia menggambarkan ayahnya.
Kemiskinan menyebabkan Firdaus dan keluarganya hidup serba kekurangan. Gubuk mereka kecil, tidak ada kamar tidur yang nyaman, kecuali lantai beralaskan jerami atau dekat tungku ruangan ketika musim dingin. Namun kenyamanan ayahnya adalah yang paling utama. Jika pada musim dingin Firdaus dan saudara-saudaranya telah terlelap terlebih dahulu sebelum ayahnya, maka ayahnya akan menarik tikar jerami itu beserta bantalnya, lalu mencari kehangatan di sudut ruangan tungku. Sementara Firdaus dan saudara-saudaranya dibiarkan menggigil kedinginan atau menderita mencret di musim panas. Mereka dibiarkan merana hingga mati satu persatu seperti anak ayam. (hal 22-23)
Kondisi ekonomi yang tidak berkecukupan membuat firdaus dan keluarganya sering menahan rasa lapar dan dahaga. Tidak demikian dengan ayahnya. Ayahnya tidak akan pernah tidur tanpa makan malam terlebih dahulu, sementara anggota keluarganya harus tidur dengan perut kosong atau menunggunya selesai makan dan memakan sisa-sisa makanannya bersama-sama. Sang ayah tidak pernah peduli apakah anak-anaknya kenyang atau tidak, yang ada dalam pikirannya adalah isi perutnya. Hal ini digambarkan dengan bagaimana ketika firdaus memberanikan diri mengulurkan tangannya di saat ayahnya makan, namun yang ada adalah pukulan keras dari ayahnya. (hal 23)
Ayahnya juga tidak pernah memberinya uang sepeser pun. Jika Firdaus memintanya, maka ayahnya akan marah dan memukul tangan serta pundaknya seraya menghardiknya untuk membersihkan kotoran ternak dan menggiring keledai ke kandang terlebih dahulu. (hal 25)
Baca juga: Belajar Bahasa Arab Pemula

Tidak ada komentar:

Posting Komentar